A. Fungsi dan
Peran Terapis
Tugas utama terapis adalah berusaha
memahami klien sebagai ada dalam dunia. Teknik yang digunakan mengikuti
alih-alih pemahaman. Karena menekankan pada pengalaman klien sekarang,
para terapis eksistensial menunjukkan keleluasaan dalam menggunakan
metode-metode, dan prosedur yang digunakan oleh mereka bisa bervariasi
tidak hanya dari klien yang satu kepada klien yang lainnya, tetapi juga
dari satu ke lain fase yang dijalani oleh klien yang sama. [1]
Tetapi eksistensil memusatkan pada
pengertian subjektif, terhadap dunia klien dan membuatnya mendapatkan
pengertian yang baru. Fokusnya adalah pada kehidupan yang sekarang.
Terapis membentuk hubungan yang efektif dengan klien dan membantu klien
mengerti dan merasa tertantang serta menyadarkan klien akan tanggung
jawabnya, terapis membuat/membenarkan pola piker klien yang salah
terhadap hidupnya.[2]
Menurut Buhler dan dan Allen, para ahli
psikilogi humanistik memiliki artis bersama yang mencakup hal-hal
berikut :
1.
Mengakui pentingnya pendekatan diri
pribadi ke pribadi
2.
Menyadari peran dari tanggung jawab
terapis
3.
Mengakui sifat timbal balik dari hubungan
terapeutik
4.
Berorientasi pada pertumbuhan
5.
Menekankan keharusan terapis terlibat
dengan klien sebagai suatu pribadi yang menyeluruh
6.
Mengakui bahwa putusan-putusan dan
pilihan-pilihan akhir terletak di tangan klien
7.
Memandang terapis sebagai model, dalam
arti bahwa terapis dengan gaya hidup dan pandangan humanistiknya tentang
manusia bisa secara implisit menunjukkan kepada klien potensi bagi
tindakan kreatif dan positif
8.
Mengakui kebebasan klien untuk
mengungkapkan pandangan dan untuk mengembangkan tujuan-tujuan dan
nilainya sendiri
9.
Bekerja ke arah mengurangi kebergantungan
klien serta meningkatkan kebebesan klien.
May (1961, hlm 81) memandang tugas terapis
di antaranya adalah membantu klien agar menyadari keberadaan dalam dunia
: Ini adalah saat ketika pasien melihat dirinya sebagai orang yang
terancam, yang hadir di dunia yang mengancam dan sebagai subjek yang
memiliki dunia”.
Frankl (1959, hlm. 174) menjabarkan peran
terapis sebagai “spesialis mata daripada sebagai pelukis”, yang
bertugas”memperluas dan memperlebar lapangan visual pasien sehingga
spektrun keseluruhan dari makna dan nilai-nilai menjadi disadari dan
dapat diamati oleh pasien”.
Untuk contoh mengenal bagaimana seorang
terapis yang berorintasi eksistensial bekerja dalam pertemuan terapi,
maka terapis akan bertindak sebagai berikut :
1.
Memberikan reaksi-reaksi pribadi dalam
kaitan dengan apa yang dikatakan oleh klien
2.
Terlibat dalam sejumlah pernyataan
pribadi yang relevan dan pantas tentang pengalaman-pengalaman yang mirip
dengan yang dialami oleh klien
3.
Meminta kepada klien untuk mengungkapkan
ketakutannya terhadap keharusan memilih dalam dunia yang tak pasti
4.
Menantang klien untuk melihat selurug
cara dia menghindari pembuatan putusan-putusan dan memberikan penilaian
terhadap penghindaraan itu
5.
Mendorong klien untuk memeriksa jalan
hidupnya pada periode sejak memulai terapi dengan bertanya “ Jika anda
bisa secara ajaib kembali kepada cara anda ingat kepada diri anda
sendiri sebelum terapi, maukah anda melakukannya sekarang ?”
6.
Beritahukan kepada klien bahwa ia sedang
mempelajari apa yang dialaminya sesungguhnya adalah suatu sifat yang
khas sebagai manusia bahwa dia pada akhirnya sendirian, bahwa dia harus
memutuskan untuk dirinya sendiri, bahwa dia akan mengalami kecemasan
atau ketidakpastian putusan-putusan yang dibuat, dan bahwa dia akan
berjuang untuk menetapkan makna kehidupannya di dunia yang sering tampak
tak bermakna.[3]
B. Hubungan
antara Terapis dan Klien (Peran Konselor)
Hubungan terapeutik sangat erat bagi
terapis eksistensial. Penekanan diletakkan pada pertemuan antarmanusia
dan perjalanan bersama alih-alih pada teknik-teknik yang mempengaruhi
klien, isi pertemuan terapi adalah pada teknik-teknik yang mempengaruhi
klien. Isi pertemuan terapi adalah pengalaman klien sekarang bukan
masalag klien. Hubungan dengan orang lain dalam kehadiran yang otentik
difokuskan kepada “ di sini dan sekarang”. Masa lampau atau masa depan
hanya penting bila waktunya berhubungan langsung.
Dalam menulis tentang hubungan terapeutik,
Sidney Jourard (1971) mengimbau agar terapis, melalui tingkah lakunya
yang otentik dan terbuka, mengajak kepada keotentikan, Jourard meminta
agar terapis membangun hubungan Aku-Kamu, di mana pembukaan diri terapis
yang spontan menunjang pertumbuhan dan keotentikan klien. Sebagaimana
yang dinyatakan oleh Jourard (1971, hlm. 142-150), Manipulasi melahirkan
kontramanipulasi . Pembukaan diri melahirkan pembukaan diri pula. Ia
juga menekankan bahwa hubungan terapeutik bisa mengubah terapis
sebagaimana ia mengubah klien. Hal itu berarti bahwa siapa yang
menginginkan apa dan pertumbuhannya tidak berubah, tidak perlu menjadi
terapis.
Jourard adalah salah satu contoh yang baik
tentang seorang terapis yang mengembangkan gaya diri yang berorientasi
humanistik. Ia menunjukkan bahwa menjadi unik, otentik, dan menggunakan
teknik-teknik yang beragam dalam kerangka humanistik adalah suatu hal
yang mungkin.
Jourard tetap berpendapat bahwa jika
terapis menyembunyikan diri dalam pertemuan terapi, maka dia terlibat
dalam tingkah laku tidak otentik yang sama dengan yang menimbulkan
gejala-gejala pada diri klien. Menurut Jourard, cara untuk membantu
klien agar menemukan dirinya yang sejati, serta agar tidak menjadi asing
dengan dirinya sendiri adalah, terapis secara spontan membukakan
pengalaman otentiknya kepada klien pada saat yang tepat dalam pertemuan
terapi.[4]
Terapi eksistensial mengutamakan hubungan
dengan klien
a.
Hubungan ini penting bagi terapis karena
kualitas dari setiap orang diperlihatkan dalam situasi terapi yang akan
mengubah stimulus menjadi positif
b.
Dengan hubungan yang efektif ini terapis
dapat menggali sifat dasar klien dan karakteristik pribadi mereka
c.
Vontras, dkk, menyatakan bahwa terapi
eksistensial ini adalah perjalanan menuju kea rah dalam diri individu
yang di dapat dari hubungan terapis dengan klien
d.
Tujuan akhirnya adalah untuk menghadapi
jalan hidup mereka
e.
Terapis perlu mengadopsi gaya yang lebih
fleksibel dan teori yang berbeda untuk klien yang berbeda
f.
Empati merupakan hal yang penting dalam
proses terapi[5]
C. Teknik-teknik
dan Prosedur-Prosedur Terapeutik
Tidak seperti kebanyakan pendekatan terapi,
pendekatan eksistensial humanistik tidak memiliki teknik-teknik yang
ditentukan secara ketat. Prosedur-prosedur terapeutik bisa dipungut dari
beberapa pendekatan terapi lainnya.
Rollo May (1958, 1961), seorang
psikonalisis Amerika yang diakui luas atas pengembangan psikoterapi
eksistensial di Amerika, juga telah mengintegrasikan metodologi dan
konsep-konsep psikoanalisis ke dalam psikoterapi eksistensial.
Pada pembahasan di bawah ini diungkap
dalil-dalil yang mendasari praktek terapi eksistensial humanistic.
Dalil-dalil ini, yang dikembangkan dari suatu survai atas karya-karya
para penulis psikologi eksistensial, berasal dari Frankl (1959, 1963),
May (1953, 1958, 1961), Maslow (1968), Jourard (1971) dan Bugental
(1965), merepresentasikan sejumlah tema yang penting yang merinci
praktek-praktek terapi.
D. Tema-tema
dan Dalil-dalil Utama Eksistensial : Penerapan-penarapan pada Praktek
Terapi
Dalil 1 : Kesadaran Diri
Manusia memiliki kesanggupan untuk
menyadari diri yang menjadikan dirinya mampu melampaui situasi sekarang
dan membentuk basis bagi aktivitas-aktivitas berpikir dan memilih yang
khas manusia.
Kesadaran diri itu membedakan manusia dari
makhluk-makhluk lain, sebagaimana dinyatakan oleh May (1953), “Manusia
adalah makhluk yang bisa menyadari dan oleh karenanya, bertanggung jawab
atas keberadaannya”.
Pada inti keberadaan manusia, kesadaran
membukakan kepada kira bahwa
1.
Kita adalah makhluk yang terbatas, dan
kita tidak selamanya mampu mengaktualkan potensi-potensi
2.
Kita memiliki potensi mengambil atau
tidak mengambil tindakan
3.
Kita memiliki suatu ukuran pilihan
tentang tindakan-tindakan yang akan diambil, karena itu kita menciptakan
sebagian dari nasib kita sendiri
4.
Kita pada dasarnya sendirian, tetapi
memiliki kebutuhan untuk berhubungan dengan orang lain, kita menyadari
bahwa kita terpisah, tetapi juga terkait dengan orang lain
5.
Makna adalah sesuatu yang tidak diperoleh
begitu saja,tetapi merupakan hasil dari pencarian kita dan dari
penciptaan tujuan kita yang unik
6.
Kecemasan eksistensial adalah bagian
hidup yang esensial sebab dengan meningkatnya kesadaran kita atas
keharusan memilih, maka kita mengalami peningkatan tanggung jawab atas
konsekuensi-konsekuensi tindakan memilih
7.
Kecemasan timbul dari penerimaan
ketidakpastian masa depan
8.
Kita bisa mengalami kondisi-kondisi
kesepian, ketidakbermaknaan, kekosongan, rasa berdosa, dan isolasi,
sebab kesadaran adalah kesanggupan yang mendorong kita untuk mengenal
kondisi-konsidi tersebut.[6]
Maka, putusan untuk meningkatkan kesadaran
diri adalah fundamental bagi pertumbuhan manusia. Berikut ini adalah
daftar dari beberapa pemunculan kesadaran yang dialami orang, baik dalam
konseling individual maupun dalam konseling kelompok.
1.
Mereka menjadi sadar bahwa dalam usaha
yang nekat untuk dicintai, mereka sebenarnya kehilangan pengalaman
dicintai
2.
Mereka melihat, bagimana mereka
menukarkan keamanan yang diperoleh dari kebergantungan dengan
kecemasan-kesemasan yang menyertai pengambilan putusan untuk diri
sendiri
3.
Mereka mengakui, bagaimana mereka
berusaha mengingkari berbagai ketidakkonsistenan diri mereka sendiri,
dan bagaimana mereka menolak apa-apa yang ada di dalam diri sendiri,
yang mereka anggap tidak bisa diterima
4.
Mereka mulai melihat bahwa identitas diri
mereka tertambat pada penentuan orang lain, yakni mereka lebih suka
mencari persetujuan dan pengukuhan dari orang lain daripada mencari
pengukuhan diri sendiri
5.
Mereka belajar bahwa diri mereka dengan
berbagai cara dibiarkan menjadi tawanan pengalaman-pengalaman dan
putusan-putusan masa lampau
6.
Mereka menemukan sejumlah besar faset
pada diri mereka sendiri, dan menjadi sadar bahwa dengan merepresi satu
sisi dari keberadaan mereka, mereka merepresi sisi keberadaan yang
lainnya. Misalnya, jika mereka merepresi tragedy, berarti mereka menutup
diri dari kesenangan. Jika mereka mengingkari kebencian, berarti mereka
mengingkari kesanggupan untuk mencintai, jika mereka mengusir
sifat-sifat buruk, berarti mereka mengusir sifat-sifat baiknya sendiri
7.
Mereka bisa belajar bahwa mereka tidak
bisa mengabaikan masa depan maupun masa lampau, sebab mereka bisa
belajar dari masa lampau, dan dengan memahami masa lampau, mereka bisa
membentuk masa depan
8.
Mereka dapat menyadari bahwa mereka
dirisaukan oleh ajal dan kematian sehingga mereka tidak mampu menghargai
kehidupan
9.
Mereka mampu menerima
keterbatasan-keterbatasan, tetapi tetap merasa pantas, sebab mereka
mengerti bahwa mereka tidak perlu menjadi sempurna untuk merasa pantas
10. Mereka bisa mengakui bahwa
mereka gagal untuk hidup pada saat sekarang karena dikuasai oleh masa
lampau maupun oleh rencana masa depan, atau karena mencoba mengerjakan
terlalu banyak hal sekalgus.
Dalil 2 : Kebebasan dan Tanggung Jawab
Manusia adalah makhluk yang menentukan
diri, dalam arti bahwa dia memiliki kebebasan untuk memilih di antara
alternatif-alternatif. Karena manusia pada dasarnya bebas, maka dia
harus bertanggung jawab atas pengarahan hidup dan penentuan nasibnya
sendiri.
Pendekatan eksistensial meletakkan
kebebasan, determinasi diri, keinginan dan putusan pada pusat keberadaan
manusia, jika kesadaran dan kebebasan dihapus dari manusia, maka dia
tidak lagi hadir sebagai manusia, sebab kesanggupan-kesanggupan itulah
yang memberinya kemanusiaan. Pandangan eksistensial adalah bahwa
individu, dengan putusan-putusannya, membentuk nasib dan mengukir
keberadaannya sendiri. Seseorang menjadi apa yang diputuskannya dan dia
harus bertanggung jawab atas jalan hidup yang ditempuhnya. Tillich
mengingatkan “manusia benar-benar menjadi manusia hanya saat mengambil
putusan. Sartre mengatakan, “Kita adalah pilihan kita”. Nietzsche
menjabarkan kebebasan sebagai “ kesanggupan untuk menjadi apa yang
memang kita alami”. Ungkap Kierkegaard, “memilih diri sendiri”,
menyiratkan bahwa seseorang bertanggung jawab atas kehidupan dan
keberadaannya .sedangkan Jaspers menyebutkan bahwa “kita adalah makhluk
yang memutuskan”.
Tugas terapis adalah membantu kliennya
dalam menemukan cara-cara klien sama sekali menghindari penerimaan
kebebasannya, dan mendorong klien itu untuk belajar menanggung resiko
atas keyakinannya terhadap akibat penggunaan kebebasannya.
Dalil 3 : Keterpusatan dan Kebutuhan akan
Orang Lain
Setiap individu memiliki kebutuhan untuk
memelihara keunikan dan keterpusatannya, tetapi pada saat yang sama ia
memiliki kebutuhan untuk keluar dari dirinya sendiri dan untuk
berhubungan dengan orang lain serta dengan alam. Kegagalan dalam
berhubungan dengan orang lain dan dengan alam menyebabkan ia kesepian,
mengalami aliensi, keterasingan, dan depersonalisasi.
Keberanian untuk ada
Usaha menemukan inti dan belajar bagaimana
hidup dari dalam memerlukan keberanian. Kita berjuang untuk menemukan,
untuk menciptalan dan untuk memelihara inti dari ada kita. Salah satu
ketakutan terbesar dari para klien adalah bahwa mereka akan tidak
menemukan inti, diri dan substansi, dan menemukan kenyataan bahwa mereka
hanyalah refleksi-refleksi pengharapan orang lain atas diri mereka.
Pengalaman Kesendirian
Para eksistensialis berdalil bahwa bagian
dari kondisi manusia adalah pengalaman kesendirian. Bagaimana, kita bisa
memperoleh kekuatan dari pengalaman melihat kepada diri sendiri dan
dari merasakan kesendirian dan keterpisahan. Rasa terisolasi muncul
ketika kita menyadari bahwa kita tidak bisa bergantung pada orang lain
dalam mengukuhkan diri, yakni kita sendirilah yang harus memberikan
makna kepada hidup kita, kita sendiri yang harus menetapkan bagaimana
kita akan hidup, kita sendiri yang harus menemukan jawaban-jawaban, dan
kita sendiri yang harus memutuskan apakah kita akan menjadi sesuatu atau
tidak menjadi sesuatu.[7]
Pengalaman keberhubungan
Kita adalah makhluk relasional, dalam arti
bahwa kita bergantung pada hubungan dengan orang lain untuk kemanusiaan
kita. Kita memiliki kebutuhan untuk menjadi orang yang berarti dalam
dunia orang lain, dan kita butuh akan perasaan bahwa kehadiran orang
lain penting dalam dunia kita. Apabila kita memperbolehkan orang lain
memiliki arti dalam dunia kita, maka kita mengalami keterhubungan yang
bermakna.
Dalil 4: Pencarian Makna
Salah satu karakteristik yang khas pada
manusia adalah perjuangan untuk merasakan arti dan maksud hidup. Manusia
pada dasarnya selalu dalam dunia pencarian makna dan identitas pribadi.
Terapi eksistesial bisa menyediakan
kerangka konseptual untuk membantu klien dalam usahanya mencari makna
hidup.
Masalah penyisihan nilai-nilai lama
Salah satu masalah dalam terapi adalah
penyisihan nilai-nilai tradisional (dan nilai-nilai yang dialihkan
kepada seseorang) tanpa disertai penemuan nilai-nilai lain yang sesuai
untuk menggantikannya. Apa yang dilakukan oleh terapis jika menghadapi
klien yang tidak lagi berpegang pada nilai-nilai yang tidak pernah
sungguh-sunguh ditantang atau diinternalkan, dan klien tersebut sekarang
mengalami keadaan hampa? Klien membutuhkan petunjuk-petunjuk dan
nilai-nilai baru yang cocok denga faset-faset yang ditemuinya. Tugas
terapis dalam proses teraepeutik adalah membantu klien dalam menciptakan
suatu sistem nilai berlandaskan cara hidup yang konsisten dengan cara
adanya klien.
Logoterapi, yang dikembangkan oleh Viktor
Frankl, dirancang untuk membantu individu dalam menemukan makna dalam
hidupnya. Menurut Frank (1959), pencarian makna adalah salah satu cirri
manusia. Keinginan kepada makna adalah perjuangan utama manusia. Hidup
tidak memiliki makna dengan sendirinya. Manusialah yang harus
menciptakan dan menemukan makna hidup itu.
Pandangan eksistensial tentang
psikopatologi
Para terapis eksistensial memandang
neurosis sebagai kehilangan rasa ada, yang membawa serta pembatasan
kesadaran dan penutupan kemungkinan-kemungkinan yang merupakan
manifestasi-manifestasi dari ada. Mereka juga menyebut “frustasi
eksistesial” atau “ kehampaan eksistesial” sebagai akibat kegagalan
ketika mencari makna dalam hidup.
Dosa eksistensial berkaitan dengan konsep
psikoterapi. Dos eksistensial itu timbul dari perasaan tidak lengkap
atau dari kesadaran seseorang bahwa dirinya menjadi sebagaimana
mestinya. Dosa eksistensial juga merupakan kasadaran pada seseorang
bahwa tindakan – tindakan dan piliha-pilihan nya tidak bisa menyatakan
potensi-potensinya secara penuh sebagai pribadi.
Dalil 5: Kecemasan sebagai syarat hidup
Kecemasan adalah suatu karakteristik dasar
manusia. Kecemasan tidak perlu merupakan sesuatu yang patologis, sebab
ia bisa menjadi suatu tenaga motivasional yang kuat untuk pertumbuhan,
kecemasan adalah akibat dari kesadaran atas tanggungjawab untuk memilih.
Kecemasan sebagai sumber pertumbuhan
Sebagai karakteristik manusia yang
mendasar, kecemasan adalah reaksi ancaman. Kecemasan menyerang inti
keberadaan. Kecemasan adalah apa yang dirasakan ketika keberadaan diri
terancam.
Pelarian dari kecemasan
Seperti kita ketahui, kecemasan adalah
produk sampingan dari perubahan. Bentuk kecemasan yang konstruktif
(kecemasan eksistensial) adalah fungsi dari penerimaan kita atas
kesendirian dan meskipun kita bisa menemukan hubungan yang bermakna
dengan orang lain, kita pada dasarnya tetap sendirian. Keceasan
eksistensial juga muncul dari perasana bersalah yang dialami apabila
kita gagal mengaktulkan potensi-potensi kita.
Implikasi –implikasi Konseling bagi
kecamasan
Kebanyakan orang mencari bantuan
profesional karena mereka engalami kecemasan atau depresi. Banyak klien
yang memasuki kantor konselor disertai harapan bahwa konselor akan
mencabut penderitaan meraka atau setidaknya akan memberikan formula
tertentu untuk mengurangi kecemasan mereka. Konselor yang beroreintasi
eksistensial, bagaimanapun, bekerja tidak semata-mata untuk
menghilangkan gejala-gejala atau mengurangi kecemasan. Sebenarnya,
konselor ekesistensial tidak memandang kecemasan sebagai hal yang tidak
diharapkan. Ia akan bekerja dengan cara tertentu sehingga untuk
sementara klien bisa mengalami peningkatan taraf kecemasan.
Dalil 6: Kesadaran atau Kematian dan Non-
Ada
Kesadaran atas kematian adalah kondisi
manusia yang mendasar yang memberikan makna kepada hidup.
Para eksistensialis tidak memandang
kematian secara negative. Menurut mereka, karakteristik yang khas pada
manusia adalah kemampuannya untuk memahami konsep masa depan dan tak
bisa dihindarkannya kematian. Justru kesadaran atas akan terjadinya
ketiadaan memberikan makna kepada keberadaan, sebab hal itu menjadikan
setiap tindkaan manusia itu berarti.[8]
Dalil 7: Perjuangan unuk Aktualisasi Diri
Manusia berjuang untuk aktualisasi diri,
yakni kecendrungan untuk menjadi apa saja yang mereka mampu.
Setiap orang memiliki orongan bawaan untuk
menjadi seorang pribadi, yakni mereka memiliki kecendrungan ke arah
pengembangan keunikan dan ketunggalan, penemuan identitas pribadi, dan
perjuangan demi aktualisasi potensi-potensinya secara penuh.[9]
Dalil Maslow tentang aktualisasi diri
memiliki implikasi-implikasi yang jelas bagi praktek psikologi
konseling, sebab tendensi kearah pertumbuhan dan aktualisasi merangkum
kekuatan utama yang menggerakan proses terapeutik.
Carl Rogers (1961), seorang tokoh utama
dalam penciptaan psikologi humanistic, membangun teori dan praktek
terapinya di atas konsep tentang “pribadi yang berfungsi penuh” , yang
sangat mirip dengan “orang yang mengaktualkan diri “ yang sangat mirip
dengan “orang yang mengaktualkan diri” yang dikemukakan oleh Maslow.[10]
Jadi pada dasarnya terapi eksistensialisme
tidak memiliki teknik-teknik yang berkaitan dengan proses terapi. Hal
ini dikarenakan pendekatan ini bukanlah terapi yang berasal dari teori
tunggal, melainkan terapi yang mengambil beberapa metode dari pendekatan
yang lain dalam pelaksanaannya seperti pendekatan Gestalt,
Psikoanalisis, Humanisme yang berupa asosiasi bebas, transferensi,
aktualisasi diri, dan lain-lain.[11]
yasan.multiply 200/11/01
com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar